Peluh mengalir deras di pelipis Jack Sparrow, tangan kanannya menggenggam kemudi sementara tangan kirinya memegang tuas persneling speed boat dengan kuat. Di antara ombak yang bergulung setinggi lima meter itu, kapal kami mengalami kerusakan mesin. Di Laut Andaman yang ganas, hidup dan mati kami dipertaruhkan. Inilah pengalaman traveling paling mendebarkan yang pernah saya alami.

……

September, 2011.

“Cuaca di Phuket sedang tak jelas, kadang hujan kadang terang.” Lady Jujuka memberitahu saya (tentunya dalam Bahasa Inggris yang bagaikan goyangan Annisa Bahar) di malam sebelumnya “Tapi semoga perjalanan kalian besok akan lancar.”

“Well, terima kasih perhatiannya.” Saya menatap tiket One Day Tour ke Phi-phi Island dan sekitarnya dengan menggunakan speed boat di tangan, “Kalau cuaca tak jelas sih di sini juga sering.” Batin saya, sambil memegang dada. Dada sendiri, bukan Dada Rosada.

“Jangan lupa, besok kamu akan dijemput pukul delapan pagi!”

Layaknya peserta KDI yang tersingkir, saya pun harus rela dijemput pada pukul delapan pagi di hari yang dingin itu. Karena bangun kesiangan, sarapan pun terpaksa saya lakukan di minibus. Terima kasih Sevel (Seven Eleven -red) atas nasi rebus – yang harus dipanaskan selama sebelas menit di microwave – dan bule mabuk yang break dance di depan kasirmu, yang membuat saya hampir ketinggalan jemputan.

Perjalanan menuju meeting point di Boat Lagoon Marina ditempuh selama kurang lebih satu jam, termasuk menjemput peserta-peserta tur di hotelnya masing-masing. Awan mendung dan jalanan becek tanpa tukang ojek menyambut kedatangan kami di Boat Lagoon Marina.

“Ayo, minum dulu teh dan kopinya. Mumpung masih panas.” Pemandu kami menunjukkan dispenser tempat teh dan kopi berada, “Lalu, setelah itu pilih fins dan goggle yang pas dengan ukuran kalian di sini.”

Saya memperhatikan peserta yang hadir pagi itu, beberapa orang pria Arab dengan badan segede unta, sepasang suami istri dan bapak-anak asal Brasil, cewek-cewek Korea dengan bikini yang agak kedodoran sehingga memperlihatkan isinya, termasuk seorang cowok asal Indonesia yang serius memperhatikan apa isi bikini cewek Korea tersebut. Cokelat muda, warna tehnya.

“Di Thailand sekarang sedang monsoon, jadi sering terjadi hujan bercampur angin kencang di laut.” Si pemandu membuka obrolan briefing pagi itu. “Sebelumnya perkenalkan, nama saya adalah Shakira.”

Beberapa peserta menyemburkan teh dan kopi yang telah diminumnya, penyebabnya adalah: (1) Pemandu kami tak ada mirip-miripnya dengan Shakira, dan (2) Dia seorang pria.

“They told me I could be anything I wanted, so I became Shakira.”

Mendung menyelimuti Boat Lagoon Marina

Hujan turun dengan deras ketika kami memasuki speed boat dengan kapasitas 20 orang itu,  saat itu Shakira telah siap dengan payungnya sementara beberapa peserta menggunakan jas hujan, sedangkan saya sengaja membiarkan tetesan demi tetesan hujan mengguyur tubuh polos saya.

“Pakai gelang ini untuk keberuntungan.” Teringat pesan Shakira ke semua peserta sebelum berangkat tadi “Juga sebagai tanda kalian itu satu grup, sehingga tidak terpencar-pencar nantinya.”

Saat itu, kami yang menggunakan gelang keberuntungan tali berwarna biru, sama sekali tak tahu kejutan apa yang telah disiapkan alam pada perjalanan tersebut.

Viking Cave adalah tempat pertama yang kami kunjungi lewati hari itu, di gua yang terdapat pada karst tersebut kami menyaksikan (dari kejauhan) penduduk lokal yang biasa mengumpulkan sarang burung layang-layang yang kemudian digunakan untuk bahan pembuatan sup sarang burung. Saya bersyukur bahwa mereka hanya mengumpulkan sarang burung, bukan sarang ular atau sarang penyamun. #okesip

Speed Boat, parkir di depan Karst.

Tak jauh dari Viking Cave, ada sebuah lagoon yang dikelilingi karst-karst yang menjulang tinggi, di mana orang-orang setempat (Phuket, bukan Pati. -red) menyebutnya “Pi Leh Cove”. Di situ, hujan pun mulai reda. Rintik-rintiknya terganti oleh senyum-senyum kecil di wajah para peserta, dan senyum lebar di wajah Shakira.

“Yak, kita akan snorkeling di sini! Jangan lupa pakai life vest, fins, dan juga goggle-nya!” Teriaknya, yang langsung disambut oleh seruan riuh para peserta.

Dan, tanpa menunggu waktu lama, kami pun segera menyeburkan diri ke lagoon yang sangat indah tersebut.

1..

2..

3..

Because life vest is only for newbie #NSFW

Selain air jernih, karst yang hijau, dan bikini yang digunakan cewek-cewek Korea, tak ada pemandangan spesial yang saya temukan di sini. Tak banyak ikan yang bisa dilihat di sini, mungkin mereka malu karena jarang tidur.

Demikianlah kisah indah kami di hari itu.

Hujan pun turun kembali begitu kami meninggalkan Pi Leh Cove. Hari itu tak ada yang tak basah luar dalam. Semua peserta basah baik pakaian, badan, hingga (pada beberapa orang) hati. Ombak yang bergulung-gulung, seperti video clip Shakira “Whenever, Wherever” justru tak membuat Shakira gadungan kami bergoyang, tampak ketegangan menjalar di wajahnya yang basah -entah oleh hujan, air laut, maupun air mata kenangan- kuyup.

Monkey Beach (Pantai yang terdapat banyak monyet #YouDontSay) adalah tujuan kami berikutnya, namun karena cuaca yang buruk dan ombak yang tinggi maka lagi-lagi kami hanya dapat memandanginya dari jauh, seperti memandang mantan dengan pasangannya yang baru lalu kemudian teriak “MONYET!”

Basah-basah-basah, sekujur tubuhku! Ah-ah-ah!

“Maaf atas ketidaknyamanan ini, namun sekarang kita telah berada di kawasan Phi Phi Ley.” Shakira memberi penjelasan “Tempat di mana kita bisa snorkeling sambil memberi makan ikan.”

Selanjutnya dia memberi masing-masing peserta beberapa potong roti tawar yang akan digunakan untuk memberi makan ikan ketika snorkeling, dan berikutnya saya pun menceburkan diri dengan beberapa potong roti di tangan. Dan tetap tanpa life vest. Memang benar banyak ikan-ikan lucu di situ, yang mengerubuti tangan begitu saya meletakkan roti di ujung jari-jari tangan saya. Sensasinya seperti fish spa namun kali ini untuk tangan. Asyik memberi makan ikan – sambil sesekali mencicipi air laut -, saya tak memperhatikan kapal yang ternyata semakin menjauh.

Ternyata bukan kapal yang menjauh.

Tapi saya yang terbawa ombak, menjauhi kapal.

Sekuat tenaga saya berenang mendekati kapal, namun ombak semakin mengempaskan tubuh polos saya menjauh. Lalu saya pun berpegangan pada orang yang mengenakan life vest di samping saya, sambil terus menggerakkan kaki (baca: berenang -red) menuju kapal. Dan mukjizat pun datang, akhirnya kami selamat sampai di atas speed boat kembali.

“Kabar baiknya, kita akan segera makan siang di Phi Phi Island.” Shakira menjelaskan, ketika semua peserta telah berada di atas kapal. “Namun kabar buruknya, karena cuaca yang jelek kita tak dapat mengunjungi Maya Bay tempat syuting film Leonardo Di Caprio, The Beach.”

“Son of a beach!” Hilang sudah imajinasi tubuh polos saya memerankan Leonardo di Caprio di Maya Bay.

“Namun jika setelah makan siang cuacanya membaik, semoga kita bisa mencoba mengunjunginya.” Shakira mencoba menghibur kami.

“Mendung datang lagi, setelah hangat sebentar!”

Suasana makan siang di Phi Phi Island berlangsung hening, tak terdengar riak tawa di sana. Alasannya, karena sedang makan siang bukan sedang bercanda. #okesip Sudah dua jam kami berada di sana, tanpa kabar, dan tanpa kepastian kapan akan berangkat lagi, sementara cuaca pun berubah-ubah dari hujan, hujan rintik, hujan aja, hujan banget, hujan angin, dan hujan.

Sekitar pukul tiga sore, Shakira mengumpulkan kami di bibir pantai yang tak seksi akibat cuaca.

“Karena cuaca yang makin tidak menentu, maka jadwal kunjungan ke Maya Bay terpaksa dibatalkan.” Petir menggelegar dan angin bertiup semakin kencang. “Saat ini ada dua pilihan yang bisa kalian pilih. Yaitu langsung pulang ke Phuket dengan menggunakan Big Boat atau mengunjungi satu pulau lagi dengan menggunakan speed boat.” Shakira menelan ludah “Big boat saat ini sedang menjemput kita dari Phuket, sedangkan bagi yang ingin mengunjungi Khai Nai Island bisa menaiki speed boat yang itu.” Pria gemulai itu menunjuk speed boat lain “karena speed boat kita tak mampu kembali ke Phuket karena laut yang makin ganas.”

“Kalau kamu pilih yang mana?” Si pria Brasil tampan bertanya kepada Shakira, sementara terlihat angin menerbangkan handuk yang dibawa si cewek Korea.

“Jelas aku pilih kaaammmm…. bali ke Phuket dengan Big Boat.”

“Ih, ogah!” Akhirnya si pria Brasil memutuskan untuk menggunakan speed boat dan mengunjungi Khai Nai Island bersama sekelompok pria Arab, sepasang suami-istri Brasil, dan saya.

“Selamat datang di kapal yang lebih macho daripada kapal Shakira.” Pemandu kami menyambut kami “Perjalanan kali ini akan ditemani oleh saya, dan Captain Jack Sparrow.” Dia menunjuk pria di balik kemudi kapal, pria telanjang (dada) dengan kulit legam, rambut gondrong, dan punggung yang bertato.

“พวกเขาบอกฉันว่าฉันจะเป็นอะไรที่ฉันต้องการดังนั้นฉันกลายเป็น Jack Sparrow!” Si pria legam, berkata kepada kami.

“They told me I could be anything I wanted, so I became Jack Sparrow.” Pemandu kami menterjemahkan kepada kami, karena ternyata Jack Sparrow gadungan tak bisa berbahasa Inggris.

Para peserta pun menempati posisi yang dipilihnya, saya duduk di bagian paling belakang kapal diantara dua sujud seorang wanita asal Brasil dengan bapak-anak asal Brasil, sementara rombongan pria Arab (beserta suami wanita asal Brasil tersebut) berdiri di bagian depan kapal karena keterbatasan tempat. Speed boat ini terdiri dari sisa-sisa rombongan kami ditambah dengan rombongan awal mereka yang memutuskan mengunjungi Khai Nai Island dikurangi dengan rombongan awal mereka yang memutuskan menunggu jemputan big boat dari Phuket. Tanpa sadar, mata saya mencari-cari di mana cewek-cewek Korea berbikini tadi, tapi ternyata mereka memutuskan tinggal di Phi Phi menunggu jemputan big boat dari Phuket. Hiks.

“Sebelum perjalanan dimulai, marilah kita berdoa supaya diberi kemudahan dalam perjalanan ini.” Si pemandu berkata “Berdoa, mulai!”

Hujan turun semakin deras, dan angin semakin kencang, tak terasa berapa banyak air laut bercampur hujan yang menerpa tubuh kami dan entah berapa liter yang mengalir menerobos sela-sela bibir. Rasanya a sin, bukan Original Sin.

Sepuluh menit berlalu, ombak setinggi dua meter menerpa. Pria-pria Arab di depan berteriak kegirangan, wanita Brazil memejamkan matanya, dan saya ikut berteriak “Wooohoooo!”

Dua puluh menit berlalu, ombak setinggi tiga meter menerjang kapal. Pria-pria Arab di depan mulai diam, wanita Brazil mulai berdoa, dan saya masih tetap berteriak “Astaghfirullah!”

Empat puluh menit berlalu, ombak setinggi lima meter menghantam kapal. Dari depan kapal terdengar suara berdebum “BOOOOMMMMM!”, wanita Brazil berteriak “MY HUSBAND!!!!”, dan saya reflek berteriak “I’M COMING, HONEEEY!”

Si pria Brazil berjalan terhuyung-huyung mendekati wanitanya. “I’m okay, tadi si Arab yang badannya segede unta yang jatuh.” Dia menjelaskan “Kayaknya pingsan, kepalanya terbentur geladak kapal.”

Wanitanya sontak berteriak, tentunya dalam Bahasa Inggris yang telah diterjemahkan “INI BERBAHAYA, HENTIKAN KAPAL INI!” Tampak perasaan cemas terpancar di wajahnya. “TOLONG!”

Si pemandu mendekat, lalu berkata ke seluruh peserta “Semuanya diharap tenang!”

“TENANG GIMANA? TIDAKKAH KAMU LIHAT APA YANG HAMPIR MENIMPA SUAMIKU?” Keluarlah logat telenovela dari si wanita.

“Tenang, di saat seperti ini kita harus tetap tenang. Yang bisa menolong kita hanyalah Tuhan…” Pemandu kami berkata tegas “… dan Captain Jack Sparrow” yang langsung disambut kedipan manja sang kapten. “Jadi tak ada gunanya kita saling berselisih di sini.”

Ombak besar menerpa kapal kami, lalu salah satu mesinnya mati.

……

Peluh mengalir deras di pelipis Jack Sparrow, tangan kanannya menggenggam kemudi sementara tangan kirinya memegang tuas persneling speed boat dengan kuat. Detik berikutnya si pemain figuran (baca: teknisi kapal) tiba-tiba muncul dari dalam kabin dan berlari ke arah mesin. Di tengah ombak yang bergulung, dia mencoba mereparasi mesin kapal.

“Tampaknya susah, Kapten!” Dia berteriak “Kita harus segera mencari pulau terdekat untuk berhenti dan memperbaikinya! Saat ini kita, hanya bisa berharap pada satu mesin lagi yang tersisa.”

“Okay, bilang sama si pemandu supaya percakapan kita jangan diterjemahkan supaya penumpang tidak panik.” Jack Sparrow menjawab dalam bahasa dewa.

“Baiklah, pulau Khai Nai tak jauh lagi dari sini. Cemungudh Eaaa!”

Pulau Khai Nai merupakan pulau dengan bibir pantai indah, yang sering digunakan para wisatawan untuk berjemur. Saat kami tiba di sana, angin menghunjam deras ke pulau itu dan menerbangkan payung-payung pelangi, kursi pantai, hingga bikini yang sedang dijemur. Karena hujan dan angin yang berduet, kami tak bisa menjelajah pulau Khai Nai dengan leluasa. Sambil menunggu kapal selesai diperbaiki, kami berteduh. Sambil berteduh, kami bersyukur masih diberi keselamatan sejauh ini.

Sekitar pukul enam sore, speed boat kami merapat di Boat Lagoon Marina. Di sana, Shakira cengar-cengir menyambut kami “Gimana perjalanannya, enak?”

Enak, ndhasmu!

Perjalanan kali ini, adalah perjalanan tak terlupakan sepanjang hidup saya. Dengan harga 900 Baht, mungkin saya telah kehilangan kesempatan mengunjungi Maya Bay, tetapi near death experience yang saya alami itu priceless harganya.

Lalu, apakah kamu masih tetap mau mengunjungi Phuket di saat musim hujan? Pilihan ada di tangan kamu!

Inilah yang akan kamu dapatkan, jika Phuket cerah! #NSFW

(PS: Perut kotak-kotak terlihat lebih keren daripada lupa cukur kumis)

***

*) Jangan Pergi ke Phuket! jika: 

  • Tak punya paspor
  • Tak ingin mendapatkan petualangan seru di sana
  • Ingin hidup tenang di rumah sambil memperdalam ilmu agama dan kebatinan