“Selamat ulang tahun, Mama.” Kata saya di dalam bus yang membawa kami ke Kuala Lumpur malam itu. Wanita itu tersenyum, menggenggam tangan saya, kemudian memeluk erat tubuh saya. Ini adalah perjalanan kedua saya bersama Mama ke luar negeri untuk merayakan ulang tahunnya. Di perjalanan yang berlangsung selama 5 hari 4 malam di 2 negara ini, kami mencoba berbagai macam moda transportasi yang tersedia. Dan inilah pengalaman kami.

(Untuk cerita yang runut, dapat dibaca sesuai urutan berikut: 1a > 2a > 2b > 3 > 4 > 5 > 6 > 7a > 8 > 9 > 7b > 2c > 10 > 11 > 2d > 1b)

1. Pesawat Terbang

Setelah melakukan survey empiris selama beberapa tahun, saya mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa pesawat terbang (bukan kuda atau unta); adalah moda transportasi paling tepat jika ingin mengunjungi Kuala Lumpur dari Jakarta. Perjalanan menggunakan pesawat terbang dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih selama 2 jam, bayangkan jika kamu tetap kekeuh pergi ke Kuala Lumpur menggunakan kuda atau unta.

Untuk urusan tiket pesawat, saya biasa menggunakan jasa dari Air Asia; maskapai penerbangan negara sebelah (yang tidak usah disebutkan namanya). Ada 2 alasan mengapa saya memilih Air Asia, yaitu: (1) harga tiketnya murah, dan (2) rok pramugarinya mini. Aha! Untuk tiket penerbangan Jakarta – Kuala Lumpur – Jakarta ini, saya cuma membayar seharga Rp. 135.000,- per orangnya. Tentunya tiket murah tersebut dibeli jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, atau dalam cerita ini sekitar setahun sebelumnya.

a. Jakarta – Kuala Lumpur

Sekitar pukul 15:00 waktu setempat, pesawat mendarat mulus di Low Cost Carrier Terminal (LCCT). Yang perlu diketahui adalah, LCCT terletak di Sepang, bukan di Serpong pake R kurang lebih 75 Km dari pusat kota Kuala Lumpur. Penerbangan itu sendiri berlangsung nyaman, tanpa adanya gangguan dari pengemis, pengamen , maupun pedagang asongan.

Ini bukan pesawat ke Jeddah, Bu!

b. Kuala Lumpur – Jakarta

Pesawat Air Asia yang membawa jemaah kami berangkat tepat pada waktunya, dan tiba pada waktu yang dijadwalkan. Untuk menyingkat waktu membaca kamu, maka sekian dan terima kasih.

2. Bus 

a. LCCT – Pudu Sentral

Karena letaknya yang cukup jauh dari Kuala Lumpur dan tak ada kuda atau unta menuju ke sana, kami pun menggunakan bus dari LCCT menuju Pudu Sentral di Kuala Lumpur. Tiket busnya sendiri (atau berdua, bertiga, dan seterusnya) dapat dibeli di loket bus yang terletak di pintu keluar terminal kedatangan LCCT sementara pool busnya terletak di ujung lain LCCT. Harga tiket bus menuju Kuala Lumpur ini bervariasi mulai dari RM 8,00, tergantung armada yang digunakan dan destinasi tujuannya. Selain menggunakan bus, ada cara lain untuk menuju Kuala Lumpur (bukan, bukan dengan ojek) yaitu menggunakan KLIA Express (feeder bus ke stasiun KLIA Express terletak di dekat pintu masuk keberangkatan domestik) namun harganya cukup mahal dengan waktu tempuh yang tidak berbeda jauh.

Katanya free seat, tapi ga dikasih kursi gratis #gagalpaham 😦

Kami memilih Pudu Sentral sebagai tujuan, karena akan menuju Hatyai pada malam harinya dengan menggunakan bus malam dari sana. Selain itu, kami juga akan membeli tiket bus malam dari Kuala Perlis ke Kuala Lumpur (Pudu Sentral) untuk 2 malam berikutnya. Pudu Sentral sendiri adalah terminal bus pusat (yang baru saja direnovasi dan beroperasi kembali) yang melayani berbagai destinasi dari Kuala Lumpur, baik AKDP, AKAP, hingga AKAN. Sayang tidak ada tujuan ke AKB48 dari sana.

Pudu Sentral yang telah direnovasi

b. Pudu Sentral – Hatyai

Loket pembelian tiket bus di Pudu Sentral ini berada pada lantai atas, dan walaupun sudah terlihat eksklusif (tidak seperti terminal-terminal di Indonesia maupun Timor Leste); masih banyak terdapat calo tiket bus di sini. Sebut saja namanya, calo eksklusif. Karena bertepatan dengan weekend, banyak bus ke Hatyai yang fully booked namun dengan sedikit keberuntungan, akhirnya kami bisa mendapat 2 tiket bus Alisan (iya benar, namanya Alisan. Bukan mau promo produk kemeja. -red) ke Hatyai dengan harga RM 60,00 per tiketnya.

Tulisannya sih RM 45, tapi bayarnya RM 60. Weekend, katanya.

Karena waktu keberangkatan yang masih lama, kami memutuskan untuk berjalan-jalan (dengan kaki, literally) ke beberapa objek di sekitar Pudu Sentral. Diantaranya adalah: Petaling Street, Dataran Merdeka, dan Seven Eleven. Petaling Street adalah sentra oleh-oleh dan barang-barang KW, Dataran Merdeka adalah tempat perayaan hari kemerdekaan tiap tahunnya juga tempat berkumpulnya beberapa objek wisata menarik seperti Sultan Abdul Samad Building, National Library, dan Masjid Jamek, sementara Seven Eleven adalah Seven Eleven bukan Seven Eleven tempat nongkrong paling heitz bagi anak muda Jakarta yang gahol gela.

World under one roof, Malaysia? No, it’s sky.

Pukul 22:00, kami telah kembali ke Pudu Sentral untuk menantikan bus yang membawa kita menuju Hatyai. Namun, ternyata bus tersebut mengalami keterlambatan selama sejam lebih. Sejak itulah saya sadar, Malaysia juga telah mengakuisisi lagi budaya kebanggaan Indonesia selain tari Tortor, yaitu jam karet.

Bukan, ini bukan kemeja. Tapi Bus.

Bus dilengkapi reclining seat, tanpa fasilitas wifi; apalagi wife.

Perjalanan ke Hatyai sendiri memakan waktu 6-8 jam tergantung pada tingkat kemacetan dan lamanya antrian di imigrasi. Proses imigrasi sendiri berlangsung 2x, yaitu di Malaysia border (Bukit Kayu Hitam) dan Thailand border (Sadao). Di Malaysia border, para penumpang turun dari bus sambil membawa barang-barangnya (sendiri, bukan barang orang lain. -red) lalu naik kembali ke bus setelah mendapat stempel imigrasi untuk menuju Thailand border yang berjarak tak jauh dari situ (kalau naik bus, bukan jalan kayang). Di Thailand border, terjadilah deja vu yaitu para penumpang turun dari bus sambil membawa barang-barangnya (sendiri, bukan barang orang lain. -red) lalu naik kembali ke bus setelah mendapat stempel imigrasi. Titik.

Sadao checkpoint, Thailand border.

“Ada yang mengatakan, selipkanlah uang 1 Ringgit atau 10 Baht dalam paspor ketika melewati border ini. Saya waktu itu melakukannya, dan secara ajaib uang tersebut lenyap setelah paspor saya selesai distempel.”

c. Kuala Perlis – Kuala Lumpur

Terminal bus Kuala Perlis terletak dekat terminal ferry Kuala Perlis, tinggal keluar belok kiri, jalan lurus, tengok kanan, ada KFC, makan, keluar KFC, belok kanan, belok kanan, belok kiri, belok kanan. Sampai. Untuk perjalanan malam itu, kami telah membeli tiket bus Plusliner di Pudu Sentral seharga RM 45,00 pada hari kedatangan kami di Kuala Lumpur. (Masukkan dua kalimat pertama pada paragraf pertama cerita ini, di sini.) Pukul 4 pagi, bus pun telah tiba di Kuala Lumpur.

Mirip-mirip sama terminal bus di Boyolali.

d. KL Sentral – LCCT

Untuk menuju LCCT, kamu bisa menggunakan bus dari KL Sentral dengan tarif RM 10,00 untuk SkyBus (Bus resmi yang bekerja sama dengan Air Asia) dan di bawah RM 10,00 untuk armada bus lain. Kalau ingin menghemat tarif SkyBus, bisa dipesan online sebelum hari keberangkatan melalui web Air Asia. Perjalanan ke LCCT kami tempuh dalam waktu satu jam, dan melewati sirkuit Sepang yang terkenal (kalau ada balapan doang) itu.

Tambang: RM 10,oo


3. Sepeda Motor

Hatyai adalah kota yang terletak di Provinsi Songkhla, di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Warga Malaysia mengenal Hatyai sebagai kota transit untuk menuju berbagai destinasi di Thailand, juga sebagai spot belanja favorit karena harga-harganya yang murah. Untuk mengelilingi Hatyai, ada beberapa pilihan, yaitu dengan Tuktuk, Ojek (saya tak tahu apa Bahasa Thailand dari ojek, sehingga sebut saja ojek. Oke jek?), jalan kaki, hingga jalan kayang. Karena ingin berjalan-jalan ke Songkhla yang terletak kurang lebih 20 Km dari Hatyai, kami memutuskan untuk menyewa (kenapa menyewa? karena untuk membeli sepeda motor sangatlah mahal) sebuah sepeda motor Suzuki Smash. Harganya? 400 Baht untuk setengah hari. Cukup mahal jika dibanding harga sewa motor di Phuket atau Chiang Mai.

Demi keamanan, biasakan mengunci ganda kendaraan Anda.

Dengan kecepatan rata-rata 40 Km/jam, perjalanan Hatyai – Songkhla sejauh 20 Km dapat ditempuh dengan waktu 30 menit berdasarkan rumus V (Velocity) = S (linear displacement) / t (time). Terdapat beberapa objek menarik di Songkhla seperti Pantai Samila, Ancient Walls, Songkhla Museum, Fishing Village, juga Golden Mermaid Statue yang merupakan icon dari Songkhla.

Ikan duyung dan ikan dugong Mama

Selain wisata belanja, juga terdapat berbagai objek wisata menarik di Hatyai misalnya Clock Tower, Big (Standing) Buddha, hingga Wat Hat Yai Nai yang memiliki salah satu patung Buddha tidur terbesar di dunia. Pada saat mengunjungi Big Buddha yang terletak di daerah perbukitan ini, kami mengalami sedikit masalah (selain berat badan) yaitu … sepeda motor mogok. Imbasnya saya harus menuntun sepeda motor tersebut sampai puncak tanjakan di mana terdapat Big Buddha tersebut. Hufftttttt..

Biggest standing Buddha I’ve ever seen, so far.


4. Tuktuk dan Ojek

Malam hari di Hatyai, tak akan terasa lengkap jika belum mengunjungi pasar malam, atau dalam bahasa kerennya disebut Night Market. #YouDontSay Terdapat 2 night market di Hatyai yaitu Asean Trade dan Greenway yang jaraknya berdekatan (kalau kamu punya peta wisata Hatyai, letaknya ada di pojok kanan bawah). Untuk menuju ke sana, kami menggunakan Tuktuk yang kami temui di jalan (ya iyalah, masa di kamar hotel), dengan tarif RM 3 atau THB 30 per penumpang. 

Tuktuk (kalau ukurannya lebih besar, disebut Song Thaew)

Perjalanan ke Asean Trade Night Market ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota Hatyai, atau sekitar 1 menit dari tempat parkir Asean Trade Night Market. #okesip Di night market ini, kamu bisa menjumpai aneka makanan khas Thailand juga beraneka barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah. Sayangnya di sini, saya tidak menemukan penjual yang menjual oleh-oleh dan souvenirs khas Thailand.

100 Baht dapat 4!!

Karena tidak menemukan Tuktuk untuk kembali ke hotel, kami memutuskan menggunakan jasa ojek. Pikir kami: Kapan lagi naik ojek di luar negeri? Di Botswana belum tentu ada ojek. Tarif ojek ini sama dengan tarif Tuktuk, yaitu RM 3 atau THB 30 per penumpang. Ada 3 hal menarik pada perjalanan ojek malam itu: (1) Pengemudinya wanita (2) Kami naik bertiga pada satu motor (3) Saya ganteng dan Mama saya cantik.

Waspadalah, siapa tahu diantara motor-motor ini ada ojek.

5. Kereta Api

Keesokan harinya, kami bangun lebih pagi untuk mengejar kereta ke Padang Besar (Thailand – Malaysia border). Kereta dari Hatyai menuju Padang besar dijadwalkan berangkat pukul 07:00 dan pembelian tiket hanya bisa dilakukan pada hari yang sama. Tiketnya sendiri seharga THB 272, cukup mahal untuk perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih satu jam. Setibanya di sana, ternyata kereta tersebut mengalami keterlambatan sekitar satu jam. Sejak itulah saya sadar, Thailand juga telah mengakuisisi budaya Malaysia yang diakuisisi dari budaya kebanggaan Indonesia selain tari Tortor, yaitu jam karet. #Akuisisiception

Urusan tiket kereta (hanya tiket kereta), Indonesia jauh lebih keren.

Stasiun Hadyai (Hatyai, dalam bahasa Thailand), memiliki fasilitas yang lengkap seperti restoran, toilet, taman bacaan, rental video games, sampai tukang sayur dan buah keliling. Ketika kereta datang, penantian itu akhirnya terbayar lunas. Kami pun memasuki gerbong kereta dengan perasaan riang, seperti saat kamu ucapkan kata itu sayang.

Kereta tiba pukul berapa?

Rangkaian kereta api menuju Padang Besar ini merupakan bagian dari rute kereta malam (sleeper train) Bangkok – Butterworth, maka tak heran apabila tarifnya mahal. Kalau kamu bepergian dengan budget lebih terbatas dan ingin menempuh rute yang sama, bisa menggunakan kereta sore dengan tarif yang cuma seperempatnya.

Sleeper train kalau malam, Ordinary train kalau siang.

Stasiun Padang Besar ini merupakan stasiun yang berdiri di antara 2 negara yaitu Thailand – Malaysia. Proses imigrasi di sini juga dilakukan pada satu gedung, jadi penumpang tidak perlu repot berpindah lokasi cek imigrasi; seperti kalau menggunakan bus, kuda, atau unta. Di stasiun ini kami disarankan untuk tatp naik di kereta dan turun di Stasiun Arau karena lebih dekat dengan Kuala Perlis, tujuan kami selanjutnya. Kami pun menuruti saran tersebut dan kembali ke kereta. Lalu terjadilah insiden berikut ini.

(percakapan telah di-dubbing ke Bahasa Indonesia)

“Mau turun mana kalian?”

Seorang pria Melayu – India hitam berkumis menghampiri kursi kami.

“Tu..run A..rau P..pak.”

“Mana tiket kalian?”

“I..ni P..pak.”

Rangkaian kumis tersebut memperhatikan tiket yang saya berikan, lalu kemudian.

“Ini kan cuma sampai Padang Besar! Kalian akan dikembalikan lagi ke sana!”

“Tapipak! Tadi kata orang di Padang Besar kami bisa naik kereta api tut tut tut lagi sampai ke Arau.”

“Kata siapa? Yang mana orangnya? Dan kenapa kamu ngomongya biasa aja, tadi kan kamu patah-patah ngomongnya?”

“Oiya ding, sa..ya lu..pa P..pak. La..lu ba..gai..ma..na i..ni P..pak?”

“Pokoknya saya tak mau tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama kalian!”

Lalu si kumis mengilang bersama tiket kami.


6. Taksi

Perlahan kereta melambatkan lajunya sebelum berhenti sepenuhnya di Stasiun Arau. Si kumis turun lebih dulu dan memasang pose sangar di pintu gerbang kedatangan Stasiun Arau. 20 menit yang lalu, Mama berpesan ke saya “Udah, nanti kalau si kumis macam-macam kasih aja 10 atau 20 Ringgit” saya mengangguk dan berucap “Okesip, Ma”.

Dengan langkah tegap, kami berlalu melewati si kumis yang ternyata cuma diam saja dengan pose sangarnya. Dan officially sampailah kami di Stasiun Arau yang ternyata sedang direnovasi.

Masih dalam proses pembangunan, seperti halnya MRT Jakarta.

Saya melayangkan pandangan ke sekitar stasiun, tak ada apa-apa. Jangankan Siti Nurhaliza, penampakan seperti Siti Aminah pun tak muncul di stasiun itu. Setelah bertanya ke sejumlah orang dan beberapa rumput yang bergoyang, diperoleh kesimpulan bahwa hanya ada satu cara menuju Kuala Perlis dari Stasiun Arau; yaitu dengan menggunakan taksi.

Taksi di Malaysia (abaikan sang model)

Saat itu, hanya ada satu taksi tua di Stasiun baru tersebut. Sang pengemudi meminta 24 Ringgit untuk membawa kami ke Kuala Perlis, (Sekadar informasi, di Malaysia kebanyakan taksi tidak menggunakan argo; sehingga kita harus pintar-pintar menawar) namun namanya Orang Indonesia; hidup tak akan lengkap kalau belum menawar. Setelah perdebatan sengit yang terjadi selama 2 menit, sang pengemudi (yang juga tua) taksi tua tersebut akhirnya luluh, dan memberikan diskon yang lumayan; yaitu sebesar 2 RINGGIT.


7. Kapal Ferry

a. Kuala Perlis – Langkawi

“Ciiittt!” Taksi tua itu berhenti di terminal ferry Kuala Perlis, tempat terdekat yang bisa menyeberangkan mahkluk hidup daan benda mati ke Langkawi. “Ini musim cuti sekolah, jadi pasti banyak yang ingin ke Langkawi.” Ujar pak supir yang sedang bekerja tersebut. Saat itu saya berpikir enak juga ya sekolah sudah boleh cuti, tak seperti saya. Cuti setahun cuma 12, masih dikurangi cuti bersama pula. Pffttt. (FYI, cuti berarti liburan dalam Bahasa Melayu Malaysia.)

Antrilah di loket, untuk beli tiket, awas ada toket! #missinglyrics

Setelah mengantri (Mama, bukan saya. -red), akhirnya kami berhasil mendapatkan tiket penyeberangan ke Langkawi untuk pukul 13:30 dengan menggunakan kapal Lada Tiga. Pertanyaannya: Kenapa saya tak ikut mengantri? Karena saya mengawasi barang-barang, juga memberikan doa untuk Mama supaya diberi kekuatan dan ketabahan ketika mengantri.

Lada Tiga Ticket

Karena jam penyeberangan masih lama, maka kami pun memutuskan untuk menunggu di restoran terdekat sambil memanjakan perut dengan ketan (pulut) durian yang nikmat sekali. Pukul 13:30, kapal ferry pun telah tersedia. Wait for me us, Langkawi!

Lada Tiga Ferry

b, Langkawi – Kuala Perlis

Pukul 18:37, kami (Saya, Mama, tanpa Ali dan burungnya. -red) telah siap menunggu ferry yang akan membawa kami kembali ke Kuala Perlis. Dan ternyata antrian panjang telah memadati terminal keberangkatan ferry tersebut. Saat itu, kami bersyukur dilahirkan sebagai orang Indonesia karena bisa dengan mudah menerobos antrian hingga ke depan. Thank God I’m Indonesian.

Coral Island 1 Ticket + Boarding Pass

Perjalanan ke Kuala Perlis ditempuh selama kurang lebih satu jam, sama dengan waktu yang diperlukan ketika menyeberang ke Langkawi dari Kuala Perlis. Harga tiketnya pun belum mengalami inflasi walaupun sudah lewat 5 jam lebih sejak terakhir mengunjungi Langkawi, yaitu masih tetap 18 Ringgit.

Mirip-mirip sama Ferry jurusan Macau – Hongkong


8. Van

Namanya Saiful, perawakannya tinggi hitam dan kurus seperti layaknya orang Melayu asli. Dia menyapa saya ketika sedang (menunggu Mama) mengantri tiket ferry menuju Langkawi. Lalu kami pun bercakap-cakap manja, kemudian diketahui bahwa dia bekerja di travel agent di situ. Dia mengatakan bahwa di Langkawi tidak ada kendaraan umum (seperti Kopaja dan Bemo) sehingga untuk menuju objek-objek wisatanya diperlukan kendaraan pribadi.

*hening sejenak*

Untuk menyingkat cerita, akhirnya kami (saya dan Mama, bukan saya dan Bang Ipul. -red) setuju untuk menyewa van selama 4 jam berkeliling Langkawi dan deal di harga 150 Ringgit. Mengutip kata-kata dia “Sebenarnya ini van harganya 200 Ringgit, tapi karena kulit saya dan kamu SAMA-SAMA HITAM maka saya kasih harga 150 Ringgit saja.” JRIT! “Oiya, nanti kamu di sana akan jumpa dengan kawan saya namanya Ali. Dia yang akan mengantar kalian pusing-pusing Langkawi.” OKE! “Cup cup cup mwaaaaaccch!”  (Untung saja kata-kata terakhir dia hanya ada di imajinasi liar saya).

Kartunya Bang Ipul

Namanya Ali, perawakannya tinggi hitam dan besar seperti layaknya orang Melayu asli yang besar. Dia menyapa kami di pintu kedatangan terminal ferry Langkawi. Setelah mengantar saya membeli tiket ferry untuk kembali ke Kuala Perlis, dia mempersilakan kami masuk ke dalam van yang cukup luas itu. Mungkin cukup untuk sebuah keluarga dengan 9 orang anak kembar. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalanan kami di Langkawi, sayang tidak ada yang menawarkan villa dan jagung bakar waktu itu.

You can use this car for 10 persons, or more.

Ada beberapa objek wisata di Langkawi, namun karena keterbatasan waktu kami hanya mengunjungi beberapa spot yang menarik seperti Pantai Cenang, Makam Mashuri, Cable Car di Gunung Mat Cincang, juga patung elang yang menjadi landmark kebanggan Langkawi. Kata Ali, di pulau yang luasnya lebih besar dari Singapura dan lebih kecil dari Penang ini rutin diadakan Air Show setiap 2 tahunnya. Sayang, ketika kami datang cuma ada Air (hujan) Show di sana. Huh.

Langkawi = Elang yang hinggap di atas Batu Kawi


9. Cable Car

Jalanan yang basah menyambut kedatangan kami (Saya, Mama, Ali dan burungnya. -red) di kaki gunung Mat Cincang, tempat Cable Car; objek wisata utama Langkawi (menurut saya) berada. Beberapa orang yang kami temui mengatakan, cable car ini ditutup karena cuaca yang buruk. Memang waktu itu hujan sempat turun dengan derasnya, bahkan kabut tebal juga menutupi gunung Mat Cincang yang bukan saudara jauh Mat Solar ini. Dengan perasaan dag-dig-dug kami berlari menuju loket pembelian tiket, karena ingin memastikan dengan mata kepala, mata hati, juga mata kaki sendiri apakah cable car ini benar-benar ditutup karena adanya gangguan cuaca. Dan ternyata … CABLE CAR DIBUKA DENGAN RISIKO DITANGGUNG PENUMPANG! HTM: RM 30,00.

Let’s ride!

Gunung Mat Cincang adalah gunung tertinggi kedua di Langkawi dengan tinggi yang mencapai 700 meter, atau setara dengan 304 orang Yao Ming yang gendong-gendongan. Perjalanan cable car ke puncak gunung ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit, dengan medan yang menanjak. Sampai saat ini, inilah perjalanan saya dengan cable car yang paling tinggi dan curam. Aw! Di bawah ini, adalah beberapa pemandangan yang bisa kamu dapatkan dengan menggunakan cable car di gunung Mat Cincang. (Okay, abaikan pemandangan terakhir)

Sea View

Mountain View

Happiness View

Don’t try this at home, because I bet you don’t have cable car at home.


10. Subway dan Monorail

Dengan adanya Subway dan Monorail, berkeliling Kuala Lumpur pun bukan merupakan hal yang sulit. Cukup dengan UANG (ya menurut lu, jek?), kamu bisa mengelilingi Kuala Lumpur seharian. KL sentral adalah pusat segala macam transportasi kereta api dalam kota Kuala Lumpur, cari tujuan yang diinginkan, pelajari peta kereta api, beli tiket, naik ke kereta, sampai, dengan catatan tidak nyasar.

Ladies only, Boys please sit on the roof.

Tujuan kami hari itu adalah Batu Caves, kuil Hindu yang terletak di utara Kuala Lumpur. Di kuil ini terdapat patung Dewa Murugan terbesar di dunia, Ade Rai mah lewaaaat. Perjalanan ke Batu Caves ditempuh dengan menggunakan subway dari KL Sentral selama kurang lebih setengah jam. Menurut saya, jika kamu mencari sesuatu yang “lain” di Kuala Lumpur maka Batu Caves adalah pilihan yang tepat (walaupun mungkin bukan jodoh kamu).

Hap!

Kami minum dua!

Selain Batu Caves, kereta api dalam kota Kuala Lumpur juga dapat membawa kamu ke objek foto wajib jika berkunjung ke Kuala Lumpur; yaitu menara kembar Petronas. Tarif kereta api dalam kota Kuala Lumpur ini mulai dari 1 Ringgit, sesuai dengan jarak tempuh dengan mengabaikan faktor ketampanan.

Jangan dipakai di Timezone!

#PedekePetronas


11. Jalan Kaki

Kaki, adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita. Kaki yang sehat, adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita yang sehat. Untuk mensyukuri anugerah-Nya, kita dapat menggunakan kaki untuk berjalan-jalan melihat keindahan dunia ini. Keuntungan dari berjalan kaki adalah hemat dan sehat. Hemat karena bisa menghemat ongkos transportasi dan sehat karena banyaknya kalori yang terbuang (namun masuk lagi karena makan lebih banyak). Jadi, berjalan kakilah!

My Mom is a Backpacker!


Penginapan

Selama perjalanan ini, kami menginap selama 2 malam di bus dan 2 malam di penginapan berikut: (1) Tune Hotels Hatyai: 587,32 Baht/1 night/2 persons (2) Red Palm Guesthouse: RM 75,00/1 night/2 persons. Selama liburan tersebut kami cuma menghabiskan sekitar Rp. 1.500.000,00 di luar kebiasaan buruk orang Indonesia, yaitu oleh-oleh.

Menarik bukan? Yuk, segera rencanakan liburan bersama keluarga kamu!

Tune Hotel, Hatyai.

No board sign? Huh, even Kimochi has neon sign.

Yesterday I went to On Clinic, sorry for this long post.